Bahasa Gaul dan Solidaritas Kaum Muda
Akhir-akhir ini, Bahasa Indonesia banyak mengalami penambahan
begitu banyak kosakata. Apakah datang dari bahasa daerah, dari bahasa gaul anak
baru gede (ABG), atau bahkan yang datang dari luar Indonesia, dari negeri China
misalnya. Banyak yang merasa prihatin dan menganggap kosakata baru
tesebut merusak bahasa bakunya. Hal tersebut tentu saja sulit dielakkan
mengingat teknologi informasi yang sudah sangat terbuka sekarang ini dan tentu
saja aliran informasi yang “bersliweran” tersebut akan saling mempengaruhi.
Terlepas merusak bahasa baku atau tidak, istilah dan kosakata baru
(gaul) semakin memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Para pengguna Bahasa
Indonesia harus mampu membedakan antara yang baku dan yang berkembang. Kita
semua tahu bahwa bahasa Indonesia telah memiliki format yang baik dan benar.
Namun tak bisa “dipungkiri”, akibat perubahan jaman yang begitu cepat melesat,
munculah istilah-istilah baru. Entah siapa yang menciptakan dan mempopulerkan,
tiba-tiba saja kita sering diperdengarkan oleh kosakata-kosakata yang tidak
pernah kita dengar sebelumnya.
Sebagai contoh, bagi kita yang memiliki anak-anak baru gede
(ABG), seringkali menjadi bingung, karena banyak percakapan yang mereka gunakan
banyak yang tidak kita mengerti. Jika ditanya mereka menjawab ini adalah
“Bahasa Gaul”.
Bahasa gaul sudah muncul sejak awal 70-an. Awalnya digunakan para
“bromocorah” agar orang diluar komunitas mereka tidak mengerti, jadi mereka
tidak perlu sembunyi-sembunyi jika membicarakan hal yang negatif. Lama kelamaan
kebiasaan itu mulai ditiru oleh anak-anak remaja usia belasan tahun, bahkan
menjadi semakin bervariatif kosakatanya misalnya kata “saya”yang dalam dialek
jakarta atau betawi menjadi “gue”berubah menjadi “ogut” atau “gout”.
Yang agak ekstrim misalnya sebutan untuk orang tua seperti Ibu
atau Bapak berubah menjadi “nyokap” dan “bokap”. Jika anak-anak muda
tidak menggunakan bahasa gaul ini, mereka merasa ketinggalan jaman, kuno, nggak
gaul, dlsb. Bahkan menurut kamus bahasa gaul sendiri, bergaul itu artinya supel,
pandai berteman, nyambung diajak ngomong, periang, cerdas, dan serba tau
info-info yang aktual, tajam dan terpercaya alias luwes wawasan.
Karena begitu seringnya mereka gunakan di berbagai tempat,
lama-lama orang awam pun mengerti yang mereka maksud sehingga bahasa prokem
tidak lagi menjadi bahasa rahasia lagi.
Kalangan orang tua seringkali merasa prihatin terhadap fenomena
bahasa gaul, mereka menganggap jaman sekarang semakin anak bergaul, efek
buruknya anak berpotensi lebih menyerap kata kata yang tidak pantas dan sopan.
Dari sekian banyaknya kosakata bahasa gaul sejak awalnya dulu,
sejalan dengan perubahan jaman dan generasi, bahasa gaulpun juga ikut mengalami
perubahan sesuai dengan selera generasinya
Berikut ini beberapa istilah gaul anak remaja sekarang di akhir
dekade 1990-an dan di awal abad 21 ini lain lagi gaya bahasa gaul nya seperti
antara lain :
Jayus
Ucapan ini sangat populer, dan diartikan sebagai suatu usaha untuk
melucu tetapi dianggap tidak lucu, sering juga disebut “garink“. Menurut sumber
dari dunia maya, kosakata “jayus” ini asal mulanya dari sekelompok remaja
SMU yang bergaul di sekitaran Kemang. Konon ada seseorang bernama Herman
Setiabudhi, dia dipanggil teman-temannya Jayus karena bapaknya bernama Jayus
Kelana, seorang pelukis di kawasan Blok M. Si Herman alias Jayus ini kalau
melawak tidak pernah lucu. Teman-temannya sering mengomentari tiap lawakan yang
tidak lucu dengan celetukan Jayus (nama Bapaknya). Ucapan inilah yang kemudian
diikuti teman-teman setongkrongannya di Kemang, dan tempat-tempat nongkrong
anak remaja gaul
Jaim
Konon ucapan Jaim ini di populerkan oleh seorang bapak yang
menasehati anak perempuannya jika bergaul dengan teman laki-lagi jangan
mengumbar kata maupun tingkah laku alias harus bisa “Jaim” . Sang anak bertanya
apa itu Jaim, dan dijawab Jaim alias jaga Image. Sang anakpun meniru dan
mempopulerkan kata jaim itu disekolahnya
Cupu
Sebutan ini lazim ditujukan untuk seseorang yang berpenampilan
kuno, jadul (jaman dulu). Dengan kata lain dianggap tidak mencerminkan
kekinian, misalnya berkacamata tebal dan modelnya tidak trendy, kutu buku
(terlalu rajin belajar), kurang bergaul di kalangan anak muda. Cupu sendiri
merupakan kependekan dari kalimat “culun punya”. Culun dapat berarti “lugu-lugu
bego”, punya dapat berarti “benar-benar”, jika digabung menjadi : benar-benar
lugu/bego.
Ajija dan Gretong
Di kalangan kaum banci, kosakata pergaulan semakin berkembang.
Simak saja percakapan para banci sebagai berikut :
Tince : ………. “ eeii Joice… eijke khan nggak bisa dance ….ajarin eijke
yaa … !!”
Joice : …….. “ Aach… cape dee, minta ajarin Susie ajija, dia okee boo… gretoong koq….!!
”
Ajija merupakan pemelesetan dari kata “saja” yang disederhanakan menjadi “aja” kemudian menjadi “ajija”. Sedangkan Gretong merupakan pemelesetan dari kata “gratis “.
Joice : …….. “ Aach… cape dee, minta ajarin Susie ajija, dia okee boo… gretoong koq….!!
”
Ajija merupakan pemelesetan dari kata “saja” yang disederhanakan menjadi “aja” kemudian menjadi “ajija”. Sedangkan Gretong merupakan pemelesetan dari kata “gratis “.
Beberapa kata tersebut diatas hanya sebagian contoh kecil saja
dari banyaknya istilah dan kosakata gaul. Jika ditelusuri lebih jauh
istilah dan kosakata tersebut berkembang di kalangan muda usia dan kalangan
khusus seperti waria, dan bahkan para penganut aliran sejenis yang digunakan
untuk percakapan sehari-hari dan bercampur dengan penggunaan bahasa indonesia
yang umum digunakan.
Menyimak muasal bahasa gaul, ada sebuah penafsiran bahwa dalam
dunia muda usia berlaku simbol-simbol yang “simple”, mudah diucapkan, akrab
ditelinga, dan spontan. Jika ada sebuah kata yang dianggap baru dan tepat untuk
menggambarkan suatu keadaan maka dengan cepat akan segera diadopsi. Bisa jadi
ucapan-ucapan tersebut berawal dari ”celetukan’ spontan saja, namun karena
dianggap memenuhi unsur-unsur tersebut diatas, maka segera akan menjadi
populer. Bisa juga berasal dari singkatan dari beberapa kata.
Biasanya bahasa gaul akan mengalami masa “pasang-surut”, tiap
generasi memiliki selera dan dinamikanya sendiri, tidak perlu dipersoalkan
secara serius sebagai sebuah ancaman rusaknya tatanan bahasa, karena hanya
bersifat sementara, datang dan pergi dan selalu akan begitu. Bahasa gaul hanya
digunakan sebagai bahasa komunitas kaum muda usia yang mencoba membangun
solidaritas dan bertahan ditengah-tengah jaman yang semakin cepat berlari….
Komentar
Posting Komentar