Memaksimalkan Kaidah Bahasa
Pada zaman Orde Baru, kita
sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan prinsip ’gunakan
Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik di sini didasarkan pada ukuran
kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana mereka nyaris menjadi
satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa
pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa
sehingga orang yang berbeda, seperti almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa
Indonesia di TVRI, harus meninggalkan pekerjaannya karena dianggap tidak tahu
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibat penguasaan ini, kreativitas
berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya nalar dan imajinasi menjadi tumpul.
Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun berkuasanya Orde Baru, masyarakat
dicekoki kosa kata para pejabat yang bercerita tentang keberhasilan pembangunan
yang serba verbalistik-formalistik.
Beberapa tahun belakangan, sejalan
dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul menjadi ranah publik di mana tak
seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih
baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas positif karena
memang bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang
setiap kelompok masyarakat baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum,
ekonom, seniman, agamawan, atau masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya
bahasa mereka masing-masing. Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya
sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih
maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk
berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah
digunakan difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang
lebih simpel namun efisien dan efektif.
Contoh yang sederhana saja adalah
awalan ‘pe’. Sejak kecil kita tahu bahwa awalan pe yang berada di depan kata
kerja berarti pelaku atau orang yang melakukan. Pencuri artinya orang yang
mencuri, penulis artinya orang yang menulis, dan seterusnya. Namun awalan ini
hanya digunakan dengan kata-kata yang itu-itu saja, dan jarang digunakan dengan
kata-kata lain yang baru. Berapa banyak di antara kita yang menggunakan
kata-kata: pesinetron, pebulutangkis, pesepakbola, pebasket, pedangdut,
pesepeda, pesepaturoda, pemobil, pemotor, pebecak, dan banyak lagi kata-kata
baru yang sebenarnya ada dalam struktur tata bahasa kita, namun karena kita
tidak kreatif, mereka nyaris tidak pernah meluncur. Pada umumnya kita
menggunakan kata-kata: pemain sinetron, pemain bulutangkis, pemain sepakbola,
pemain basket, penyanyi dangdut, pengendara sepeda, pemakai sepatu roda,
pengendara mobil, pengendara motor, dan tukang becak. Kelihatannya ini masalah
sepele. Namun gejala ini merupakan cerminan dari daya kreativitas yang rendah
untuk membuat kata-kata yang sederhana namun efektif.
Bila pola ini diteruskan kita akan
mendapatkan banyak kata untuk mendapatkan istilah-istilah yang lebih
fungsional. Coba, untuk menerjemahkan kata Inggris timer saja, paling tidak
kita butuh dua atau kadang tiga kata: ”penghitung waktu” atau ”alat penghitung
waktu”. Kedua istilah ini jelas terlalu panjang. Mengapa kita tidak
memfungsikan awalan pe sehingga kita mendapatkan kata”pewaktu”—artinya yang
menentukan waktu—yang lebih pendek. Bila awalan ini kita kombinasikan dengan
akhiran an, kita akan mendapatkan kata ”pewaktuan” sebagai ganti ”penentuan
waktu” atau ”pemilihan waktu”. Terdengar aneh? Memang, namun lama kelamaan akan
terbiasa. Ketika pertama kali sebuah kata ditemukan, maknanya sebenarnya
dipaksakan secara sistematis bagi para pendengarnya. Bila mereka menyukainya,
maka ia akan diterima dan menjadi milik bersama. Bila tidak, ia akan hilang
begitu saja. Ada negosiasi antara si pembuat atau penemu kata dengan para
pendengarnya.
Kasus awalan pe ini adalah salah satu
kasus kecil saja dari sekian banyak kasus yang ada dalam kebiasaan berbahasa
kita yang cenderung monoton dan tidak kreatif. Inilah sebenarnya makna prinsip
bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Prinsip ini tidak hanya bermakna bahwa kita
adalah pemakai bahasa yang berbeda dengan bahasa masyarakat lainnya di dunia,
namun juga menyiratkan bagaimana bahasa yang kita miliki melahirkan sebuah
sistem pengetahuan yang canggih yang dapat mengatasi berbagai persoalan
kebahasaan. Dulu kita hanya tahu bahwa untuk adalah kata depan. Namun dengan
kombinasi awalan perdan akhiran an ditemukan kata peruntukan, seperti dalam
kalimat, Pembangunan di Jakarta banyak melanggar peruntukan tanah, kata untuk
menjadi konsep yang canggih.
Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah
tulisannya tentang masyarakat madani, Dawam Rahardjo ”menemukan” kata
kesalingan (hormat menghormati, harga menghargai, sayang menyayangi, cinta
mencintai, dst) untuk menyebut prinsip yang mendasari terbentuknya masyarakat
ini. Kata itu ia gunakan untuk menerjemahkan kata Inggris mutuality. Mungkin
kata ini sudah digunakan sebelumnya oleh orang lain. Namun yang penting adalah
munculnya kesadaran untuk memfungsikan kata-kata Indonesia yang ternyata mampu
untuk tampil ringkas dan padat.
Di samping memfungsikan kaidah-kaidah
bahasa yang tidur, kalangan fungsionalis juga mengusahakan kosa kata bahasa
Indonesia dapat dipergunakan secara luas untuk menerjemahkan kata-kata asing.
Tentu kita sadar betapa banyak kata-kata asing berseliweran di tengah-tengah
kita dan kita tidak melakukan apa-apa. Di bidang media ada headline news, host,
presenter, breaking news; di bidang ekonomi:profit taking, rebound, capital
flight, hot money; di bidang cyber media: down load, browsing,searching,
connecting, blogging, dan banyak lagi. Pendek kata serbuan kata-kata asing
terjadi di semua bidang kehidupan. Mungkin ada ratus bahkan ribuan
istilah-istilah asing yang ditelan ’bulat-bulat’ oleh masyarakat kita. Bila ini
terus dibiarkan, bukan tidak mungkin lima sampai sepuluh tahun ke depan, bahasa
Indonesia tidak akan banyak berbeda dengan bahasa Inggris. Apalagi masyarakat
kita—terutama para artis dan penyanyi yang terlanjur merasa menjadi public
figure, padahal sebenarnya adalah figur yang dikenal publik—merasa lebih hebat
bila dalam percakapan mereka diselingi kata-kata Inggris untuk memberi kesan
bahwa mereka sering wara-wiri ke luar negeri.
Kalangan fungsionalis menggunakan
kata-kata yang ada dalam perbendaharaan bahasa Indonesia untuk menerjemahkan
istilah-istilah asing. Beberapa tahun yang lalu, kita tentu masih ingat
penggunaan istilah “illegal logging” untuk menyebut praktik pencurian dan
penebangan kayu secara liar. Sekarang kita mempunyai istilah “pembalakan liar”.
Dan sekarang istilah ini digunakan secara luas. Munculnya istilah ini
menyadarkan kita bahwa ternyata bahasa Indonesia mampu berfungsi lebih maksimal
lagi.
Bicara tentang fungsionalisasi bahasa,
mungkin ada baiknya kita perhatikan sejenak bagaimana kaum pinggiran, anggota
masyarakat biasa yang terdiri dari para supir, kenek, pengojek, pembecak, dan
semacamnya, membuat istilah. Untuk pengecatan seluruh permukaan mobil, mereka
punya istilah menyiram; memotong per agar mobil lebih rendah menceperkan;
mengutak-atik mesin agar mobil berlari kencang mengilik; mobil yang
dipercayakan pada seorang supir batangan. Mereka juga yang menemukan istilah
dangdutan, menikmati pertunjukan musik dangdut; cabutan, pemain dari kampung
lain yang disewa dalam sebuah pertandingan; tarikan, barang yang ditarik dari
pemiliknya karena tidak bisa membayar cicilan; tujuhbelasan, memperingati tujuh
belas agustus; tahunbaruan, memperingati malam tahun baru. Jadi, siapa
sebenarnya yang lebih kreatif?
Komentar
Posting Komentar