Karakteristik Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia
bukan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah, dan juga bukan bahasa asing, bahasa
Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara Indonesia. Bahasa
Indonesia, sejak awal pembentukannya dari bahasa Melayu sangat banyak menyerap
berbagai bahasa asing dan bahasa daerah. Dilihat dari sifat kebahasaan, bahasa
Indonesia bersifat aglutinasi tidak bersifat derivasi, sehingga dalam proses
morfologis menggunakan imbuhan berupa awalan, akhiran, dan sisipan, serta
penggabungan awalan dan akhiran berupa konfiks serta simullfiks, sedangkan
dalam struktur kalimat bahasa Indonesia menganut hukum DM (diterangkan –
menerangkan) bukan MD (menerangkan – diterangkan). Hal ini sangat berbeda
dibandingkan dengan bahasa Inggris atau bahasa Arab. Dalam kehidupan, kita
berkomunikasi bisa dalam bahasa lisan dan bisa dalam bahasa tulis. Dalam
situasi resmi, baik lisan maupun tulisan, kita harus menggunakan bahasa
Indonesia baku (standar). Sebagai bahasa baku, menurut W. A. Stewart harus mempunyai
kriteria, yaitu (a) standardization, (b) autonomy, (c) historicity, dan (d)
vitality (Adul, 1981: 13). Keempat kriteria tersebut terpenuhi dalam bahasa
Indonesia. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya, yaitu kecendekiaan
(intelektualisme) (Lubis, 1993: 53). Bahasa baku, menurut Moeliono (Adul, 1981:
14) berfungsi sebagai (a) pemersatu, (b) penanda kepribadian, (c) penambah
wibawa, dan (d) kerangka acuan dalam berbahasa. Dalam bahasa lisan, kebakuan
bahasa dapat dilihat pada aspek lafal, kosa kata, dan tata bahasa, sedangkan
dalam bahasa tulis, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek sistem penulisan
yang mengacu pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kosa kata, dan tata bahasa.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa berbahasa Indonesia baku itu meliputi
baku dalam lafal, kosa kata, tata bahasa, dan penulisan sesuai dengan Ejaan
Yang Disempurnakan. Salah satu ciri bahasa baku dan modern adalah bersifat
dinamis dan terbuka seiring dengan dinamika masyarakat sebagai implikasi dari
modernisasi yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Keterbukaan dan
kedinamisan ini sudah terjadi sejak awal terbentuknya bahasa Indonesia hingga
kini, karena banyak sekali bahasa asing dan bahasa daerah yang berkontribusi.
Dinamika bahasa yang menonjol adalah perkembangan kosakata bagi keperluan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam hubungan ini sudah banyak dibuat dan
diterbitkan kamus istilah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kita bangsa Indonesia merupakan masyarakat dwibahasawan bahkan multibahasawan.
masyarakat kita paling sedikit bisa dalam dua bahasa dan mungkin lebih, yaitu
bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Tidak sedikit pula masyarakat kita yang
bisa berbahasa dalam beberapa bahasa daerah juga bisa berbahasa asing, sehingga
mereka termasuk dalam kategori multibahasawan. Setiap hari, situasi dan suasana
kedaerahan yang paling banyak kita jalani. Hanya pada segelintir orang ada
tuntutan untuk menggunakan bahasa Indonesia baku. Seperti seorang guru atau
dosen saat mengajar di kelas, atau seorang pejabat dan eksekutif lainnya ketika
memimpin rapat di kantor. Jadi, tuntutan penggunaan bahasa baku dalam kehidupan
kita sangat sedikit, selebihnya kita hidup dalam suasana kedaerahan. Bahkan
kita bisa dipandang aneh, jika kita mengunakan bahasa Indonesia baku pada
situasi informal yang menuntut suasana akrab dan personal apakah di kantor, di
sekolah, dan terlebih di rumah. Demikian pula, terpaan pemakaian produk
teknologi informatika berupa HP yang sudah sangat banyak digunakan oleh
masyarakat, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis. Melalui sms berkembang
penggunaan bahasa tulis yang tidak baku karena pesan yang disampaikan melalui
sms merupakan media informal, personal, dan familiar sehingga selalu dalam
bahasa yang tidak baku. Kebakuan dalam lafal mempunyai permasalahan tersendiri
di masyarakat karena banyaknya dialek kebahasaan dalam berbahasa Indonesa.
Dialek ini bersumber dari pengaruh bahasa daerah di dalam berbahasa Indonesia
(interferensi). Kita masyarakat Indonesia lahir dan besar dalam suasana
kedaerahan, sehingga hal ini sangat besar mempengaruhi dalam berbahasa
Indonesia. Permasalahan menonjol dalam penggunaan bahasa lisan meliputi bunyi
/e/ oleh masyarakat Batak, Papua, Maluku, dan Dayak, bunyi /t/ oleh masyarakat
Bali, dan Aceh, bunyi /d/ dan /b/ oleh masyarakat Jawa, bunyi /o/ dan /e/ oleh
masyarakat Banjar, bunyi /n/ dan /ng/ yang dilafalkan terbalik pada posisi
akhir kata oleh orang Bugis dan Makassar, serta bunyi /f/ dan /x/ oleh sebagian
masyarakat yang kurang terpelajar. Dalam tataran struktur, sering muncul dari
masyarakat yang berasal dari Maluku dan Papua dengan struktur terbalik (Mahsun,
2010) serta penggunaan frase daripada, yang mana, dan dimana sebagai penghubung
oleh sebagian besar masyarakat karena terpengaruh pola bahasa asing. Demikian
pula, langgam yang bersifat kedaerahan yang bersumber dari bahasa daerah
terjadi pada semua masyarakat. Pelafalan standar bahasa Indonesia hanya ada
dalam deskripsi ilmiah tetapi kurang menjadi acuan bahan pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah sehingga anak didik tidak pernah mendengar model
pembelajaran lafal baku dari setiap fonem bahasa Indonesia. Permasalahan dalam
pengunaan bahasa tulis meliputi penggunaan frase daripada, yang mana, dan
dimana yang sering digunakan sebagai penghubung, penggunaan konfiks ke-an dan
pe-an, simulfiks, di-kan, di-i, me-kan, dan me-i yang menyatukan dua kata.
Demikian pula, penggunaan angka Arab dan angka Romawi yang mengarah ke bilangan
bertingkat banyak terdapat kekeliruan. Selain itu, yang sangat menonjol adalah
penggunaan awalan di- dan kata depan di yang disebabkan kekurangfahaman atas
aturan penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Terkait dengan usaha menjaga ciri
dan karakteristik bahasa Indonesia dalam menyerap setiap kosakata dalam
pengembangan bahasa Indonesia sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, selalu dilakukan adaptasi dengan karakter bahasa Indonesia,
sehingga setiap kata dari berbagai bahasa yang diambil, secara struktur dan
lafal disesuaikan dengan bahasa Indonesia. Cara ini dapat memelihara
karakteristik bahasa Indonesia, baik dari segi lafal, kosakata, struktur,
maupun penulisan. Hal ini tertuang dalam politik bahasa nasional berkaitan
dengan peran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, pedoman Ejaan yang
Disempurnakan, serta pedoman pembentukan istilah. Dalam hubungan dengan
dinamika berbahasa, berkaitan dengan sikap kita sebagai penutur bahasa
Indonesia, apakah positif atau negatif. Bagaimana kepedulian, rasa memiliki,
dan rasa tanggung jawab atas bahasa Indonesia. Di dalam pembelajaran bahasa,
ada 3 aspek yang terkait, yaitu aspek pengetahuan (kognitif), aspek
keterampilan (psikomotor), dan aspek sikap (afektif). Dalam perkembangan awal
antara ketiga aspek terbentuk secara runtut dimulai dari kognitif, psikomotor,
dan kemudian afektif. Namun dalam perkembangan kemudian bisa diawali dan
ditentukan oleh aspek afektif. Sikap ini bisa dilihat pada kesetiaan terhadap
bahasa Indonesia, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, dan kesadaran pemakai
bahasa akan norma-norma sosiokultural yang berlaku yang mendorong seseorang
untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia secara sungguhsungguh, baik, dan
santun (Rahardi, 2006). Permasalahan pemakaian bahasa Indonesia yang terjadi di
masyarakat bisa disebabkan oleh sikap masyarakat yang tidak positif terhadap
bahasa Indonesia dan berbahasa Indonesia sehingga dalam pemakaian bahasa
Indonesia tidak mengindahkan kaidah bahasa Indonesia, apalagi ditambah dengan
sangat kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kaedah bahasa
Indonesia.
Komentar
Posting Komentar