PENTINGKAH BAHASA INDONESIA ?
Saat ini, kalau kita perhatikan pemimpin-pemimpin di Malaysia
berpidato, sebagian besar gaya bahasa mereka sudah hampir serupa dengan gaya
bicara pemimpin-pemimpin di Indonesia. Apalagi kalau kita ambil contoh
tokoh Anwar Ibrahim. Gaya pidatonya sudah hampir tidak dapat dibedakan dengan
gaya orang Indonesia. Malah kalau saya perhatikan gaya pidato orang Indonesia
justru semakin buruk. Dalam pidato resmi banyak sekali diselipkan kosakata
bahasa Inggris atau istilah yang keinggris-inggrisan.
Fenomena lain yang juga menarik diamati adalah bahwa semakin ke
timur maka bahasa Indonesia penduduk di wilayah Indonesia timur seperti Maluku,
Papua justru lebih baik dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang tinggal di
wilayah barat. Bahasa Indonesia mereka secara murni diperoleh dari buku teks
dan merupakan bahasa formal yang digunakan sehari hari.
Rakyat
kita di daerah umumnya tidak mengerti pidato-pidato yang disampaikan oleh
orang-orang Jakarta. Misalnya saja untuk mengatakan bahwa argumen yang
disampaikan oleh pak menteri tidak mengandung nuansa yang aspiratif dan tidak
solutif. Itu maksudnya apa? Belum tentu rakyat kita mengerti.
Namun itulah yang terjadi di Indonesia bagian barat terutama yang dekat dengan
Jakarta.
Apakah
ini gejala ketidak perdulian bangsa kita pada bahasa Indonesia? Sebenarnya
tidak juga. Seperti halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahasa Indonesia
juga sangat gencar didesak oleh bahasa Inggris. Saya banyak belajar bahwa
ketika di antara kita sendiri masih diliputi banyak persoalan, tiba-tiba kita
terjebak dengan keharusan menggunakan bahasa Indonesia dimana banyak sekali
istilah yang belum disamakan atau dipadankan. Generasi muda kita tumbuh di
bawah pengaruh bahasa Inggris yang kuat. Akibatnya, dalam dunia komunikasi
yang serba cepat ini, ketika mereka diharuskan berkomunikasi dalam konteks
bahasa Indonesia, mereka sering tidak ada waktu untuk berpikir karena tidak
memiliki perbendaharaan bahasa Indonesia yang cukup. Akhirnya keluarlah bahasa
yang campur aduk. Contoh yang paling mudah adalah, banyak sekali di antara kita
yang tidak bisa membedakan antara isu dan problem.
Padahal something
that is problematic doesn’t mean an issue.
Sebaiknya para generasi muda menyadari pentingnya menguasai bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Apalagi kalau mereka menjadi tokoh-tokoh
politik, maka ketidak mampuan mereka berbahasa Indonesia akan menimbulkan
kesenjangan mental dan jarak dengan rakyat Indonesia. Buat rakyat ini
orang ngomong apa – di daerah mereka itu disebutnya bahasa orang jakarta –
karena mereka tidak mengerti. Sebabnya berhati-hatilah.
Sebagai
pimpinan BTPN (Bank Tabungan Pensiunan Nasional) saya sering turun ke
daerah-daerah di Indonesia. Sering saya harus bicara dengan penduduk lokal yang
nilai pinjamannya hanya 5 juta rupiah dengan bahasa Indonesia tidak hanya yang
baik dan benar tapi juga harus lebih pelan agar mereka mengerti. Tidak mungkin
saya menggunakan istilah collateral atau credit worthiness dengan mereka.
Saya kaget sekali ketika saya membantu gubernur Aceh, di Aceh
Utara ternyata bahasa Indonesia saya tidak dimengerti oleh rakyat di sana. Saya
harus membawa putera-putera Aceh untuk membantu saya menterjemahkan apa yang saya
ingin sampaikan. Bahasa Indonesia yg kita bawa dari Jakarta ternyata sudah
melangkah terlalu jauh. Jadi kalo mereka-mereka yang hidup di kota tidak
menyadari adanya kesenjangan ini, maka mereka akan mengalami kesulitan
berkomunikasi dengan rakyat di daerah.
Sebagai
ekonom saya menjadi obyek pengamatan di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Mereka heran, mengapa Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti dibawa-bawa ke konvensi melayu di Kuala Lumpur , atau
bicara soal peradaban melayu di Riau. Akhirnya mereka menyadari karena saya
mengajar mata kuliah perdagangam ekonomi, saya sangat memahami peranan bahasa
indonesia sebagai lingua franca. Bahasa itu tidak statis, terus berubah saat
dunia berubah. Saya kewalahan ketika saya harus masuk ke pembahasan tingkat
falsafah ekonomi di S3, yaitu Landasan Filsafat Pemikiran
Ekomomi, apalagi Metode
Ekonometri, karena faktor matematika yang lebih abstrak,
juga Faktor Analysis.
Contohnya,
bagaimana kita menterjemahkan “A correlation does
not necessarily to causation“?
Komentar
Posting Komentar