Posisi Bahasa Indonesia di Dunia
Sebagai bahasa persatuan bahasa Indonesia digunakan oleh lebih dari 240 juta orang penduduk Indonesia. (Data bulan Juli 2009: CIA The World Fact Book). Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Sejak bulan Maret 2009 situs informasi pendidikan luar negeri di
Singapura secara lengkap bahkan ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Situs ini
dibuat untuk memudahkan siswa dan orang tua mendapatkan informasi lengkap dan
cepat mengenai pendidikan di Singapura.
Konon saat ini ada 45 negara yang ada mengajarkan bahasa
Indonesia, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan lain-lain.
Bagaimana sebenarnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?
Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta seharusnya bahasa
Indonesia mampu menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya Asia Timur dan
menjadi bahasa pilihan warga asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau
ketiga.
Pada kenyataannya bahasa Indonesia tidak sepopuler bahasa Jepang
yang hanya memiliki 128 juta penutur. Atau bahasa Jerman yang hanya memiliki 96
juta penutur.
Menurut
majalah Forbes edisi Februari 2008 10 bahasa paling populer yang dipelajari
oleh mahasiswa di Amerika adalah: Spanyol, Perancis, Jerman, Itali, Jepang,
Cina/Mandarin, Latin, Rusia, Arab dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang tertarik
di bidang geopolitiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi dan
Indonesia, karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam
bahasa-bahasa ini sangat diminati oleh FBI(Federal Bureau of Investigation).
Seiichi Okawa,
koresponden salah satu stasiun TV Indonesia di Tokyo, bercerita bahwa sejak
tahun 2003, minat warga Jepang untuk belajar bahasa Indonesia turun tajam.
Bangkitnya perekonomian Cina dan juga tingginya pengaruh sinetron-sinetron
Korea yang banyak diputar di Jepang membuat orang Jepang lebih suka belajar
bahasa Cina atau Korea. Mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia umumnya bukan
karena ingin belajar bahasa Indonesia tapi karena tidak diterima di jurusan
bahasa Inggris, Perancis dan bahasa lainnya.
Sampai tahun 1990-an bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa
asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah
mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa
Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah bahasa Jepang dan
Cina. Rahmad Nasution, koresponden kantor berita Antara di Brisbane, Australia,
menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2007
penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan
di 20 lembaga pendidikan tinggi ini mencapai 12 persen. Sementara jumlah
mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh
sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen,
Korea (15,3 persen), dan Jepang (1,5 persen). Jumlah kolese dan sekolah
lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya banyak
Universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia. Kondisi ini tidak
hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia karena harus
kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik
Indonesia di Australia.
Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer
di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan John Howard,
pemberlakuan peringatan perjalanan atau ‘travel advisory’ yang dikeluarkan pemerintah
Australia setelah peristiwa bom bali banyak menghambat kunjungan warga
Australia yang ingin mengunjungi Indonesia dalam rangka belajar bahasa
Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari pemerintah Australia yang wajib
dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di negara itu juga membuat
pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru bahasa
Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah
lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.
Dr. James Sneddon,
associate professor dari Griffith Unversity yang kini sudah pensiun,
menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang,
mahasiswa-mahasiswa yang dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk
mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa
yang hanya cocok dipelajari oleh orang-orang yang bodoh saja. Menurut Dr.
Sneddon, yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran bahasa Indonesia,
sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya dengan
bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita
belajar bahasa Inggris, Perancis dan lain-lain.
Selain itu kemahiran perdana menteri Australia, Kevin Rudd,
berbahasa Mandarin kini ikut mempengaruhi melonjaknya minat orang Australia
belajar bahasa Cina.
Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa
Indonesia merasa kecewa karena tidak dapat menggunakannya ketika berkunjung ke
Indonesia. Bahasa percakapan yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang
dipelajari di universitas. Diglosia di dalam bahasa Indonesia tidak pernah
diajarkan. Baru beberapa tahun terakhir saja bahasa informal mulai dimasukkan
ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan formal banyak para penutur di Indonesia
yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan cenderung
bebas. Hal ini menimbulkan kebingungan, kata mereka.
Komentar
Posting Komentar